Peristiwa Ghadir dimulai saat Nabi Muhammad ﷺ tengah melaksanakan Haji terakhir beliau
Haji ini juga diikuti oleh ratusan ribu kaum muslim dari seluruh penjuru, yang diundang oleh Rasulullah ﷺ untuk ikut haji bersama beliau yang terakhir kalinya
Di Mekkah, usai melaksanakan ibadah haji, Rasulullah ﷺ naik keatas mimbar untuk berkhutbah tentang wasiat terakhir beliau kepada ummat muslim
Diantara para pendengar juga hadir orang-orang munafik yang ingin merebut kekuasaan atas ummat muslim setelah Rasulullah wafat
Dan para munafik ini bisa menebak apa wasiat yang hendak Rasulullah sampaikan:
Siapa yang akan memimpin ummat muslim setelah Rasulullah wafat?
Dengan niat menghalangi pengumuman tersebut, para munafik sengaja membuat onar dan pertikaian, hingga keadaan di Mekah menjadi tidak kondusif sama sekali.
Untuk mencegah keributan dan korban jiwa, Rasulullah ﷺ memutuskan untuk menghentikan khutbahnya dan mengajak seluruh ummat untuk ikut pergi bersama beliau sebelum pulang ke rumah masing-masing.
Para orang-orang munafik merasa lega. Mereka berhasil menghalangi Rasulullah untuk mengumumkan siapa penerus tangguk kepemimpinannya di depan ratusan ribu ummat muslim
Ratusan ribu kaum muslim dari seluruh penjuru berbondong-bondong berjalan mengiringi Rasulullah keluar dari Mekah
Mereka semua menunggu apa yang hendak Rasulullah wasiatkan kepada mereka, sebelum khutbah beliau terpotong oleh keributan di Mekah
Selama perjalanan Rasulullah ﷺ menunggu petunjuk dari Allah SWT mengenai saat yang paling tepat untuk menyampaikan wasiatnya kepada para ummat muslim yang bersamanya
Lalu di sebuah tempat bernama Ghadir Khum, malaikat Jibril ع turun kepada Rasulullah ﷺ untuk menyampaikan wahyu dari Allah SWT
Wahai Rasul, sampaikanlah apa yang telah diwahyukan padamu dari Tuhanmu;
dan jika engkau tidak melakukannya (maka) engkau sama sekali belum menyampaikan Risalah-Nya;
dan Allah akan melindungimu dari (gangguan) manusia
(Qur’an: Surat 5, Ayat 67)
Rasulullah ﷺ kemudian langsung memerintahkan rombongannya untuk berhenti di tempat tersebut.
Rasulullah ﷺ juga mengutus beberapa sahabat yang menunggangi kuda untuk pergi memanggil kembali sebagian rombongan yang sudah jalan terlebih dahulu, dan juga menyegerakan rombongan yang ada di belakang.
Di bawah panas terik matahari, ratusan ribu kaum muslim menunggu selama kurang lebih 4 jam sampai semua rombongan berkumpul di Ghadir Khum
Setelah semua rombongan sampai, Rasulullah ﷺ kemudian memimpin shalat, diikuti oleh ratusan ribu kaum muslim.
Seusai salat, atas perintah Rasulullah ﷺ, didirikanlah sebuah mimbar dari dahan-dahan pohon, bebatuan dan gerobak yang ada di sekitar.
Dari atas mimbar itu Rasulullah ﷺ mulai berbicara, menyampaikan sabda-sabdanya dengan nada tinggi, jelas, dan tegas.
Hingga semua orang dapat melihat dan mendengar apa yang beliau sampaikan, atau setidaknya memahami apa yang terjadi.
Amma ba’du wahai kaum Muslimin! Sesungguhnya aku adalah manusia biasa dan utusan Tuhanku akan datang memanggilku dan aku akan menjawab panggilannya
Beberapa kaum muslim mulai berlinang air mata, menangis tak kuat membayangkan kehilangan Rasulullah ﷺ
Aku tinggalkan pada kalian Tsaqalain! (dua perkara yang sangat berharga)
Yang pertama adalah
Al-Qur’an Kitab Allah!
Padanya terdapat petunjuk dan cahaya, ambillah (isi) kitabullah dan peganglah erat-erat.
dan (yang kedua) adalah
itrah' Ahlulbaitku! (keturunan keluargaku)
keduanya tidak akan terpisah sampai keduanya mendatangiku di telaga (Al-Kautsar)!
(H.R. Shahih Muslim, IV: 1874, No. 2408)
Aku ingatkan kamu kepada Allah atas
Ahlulbaitku!
Aku ingatkan kamu kepada Allah atas
Ahlulbaitku!
Aku ingatkan kamu kepada Allah atas
Ahlulbaitku!
Rasulullah ﷺ berhenti sejenak, lalu memanggil Ali bin Abi Thalib ع untuk berdiri di sampingnya
Rasulullah ﷺ lalu memengang tangan Imam Ali ع erat-erat dan mengangkatnya tinggi-tinggi
Barang siapa yang telah menjadikan aku pemimpinnya (mawla) maka
Ali adalah pemimpinnya (mawla)
Ya Allah, cintai lah siapa yang mencintainya (Ali)
Musuhilah siapa yang memusuhinya
Tolong lah siapa yang menolongnya
Dan terlantarkan lah siapa yang menelantarkannya
(Musnad Imam Ahmad 2/71 nomor 641)
Imam Ahmad bin Hanbal (imam mahzab sunni Hambali) mengategorikan hadis ini sahîh li ghairih. Karena memiliki sanad yang sahih dari jalur periwayatan lain yang mencapai tiga puluh sahabat.
Lalu para sahabat yang diantaranya terdapat Abu Bakar, Umar dan Usman memberikan selamat kepada Imam Ali ع :
Selamat bagimu wahai putra Abu Thalib! Sekarang engkau telah menjadi pemimpin kami, dan pemimpin seluruh muslimin dan muslimah!
(Fadail al-Sahabah, Imam Ahmad ibn Hanbal, 2/596, No. 1016.)
Segera sesudah Rasulullah ﷺ menyelesaikan khutbahnya, turunlah ayat Qur’an ini:
Hari ini telah Aku sempurnakan bagimu agamamu dan Aku lengkapkan nikmat-Ku bagimu, dan Aku telah rela bahwa Islam menjadi agamamu.
(Qur’an 5:3)
Turunnya surah al-Maidah ayat ke-3 ini menegaskan fakta bahwa kesempurnaan agama dan diridhainya Islam sabagai agama bagi umat Islam oleh Allah SWT terwujud berkat kepemimpinan Imam Ali ع yang dideklarasikan Rasulullah ﷺ di Ghadir Khum.
Banyak ulama Ahlu Sunnah wal Jamaah yang menceritakan kejadian ini, baik secara rinci ataupun ringkasannya. Peristiwa historis ini dikisahkan oleh 110 sahabat Rasulullah, 84 tabi’in, dan kemudian oleh ratusan pakar Dunia Islam, sejak abad pertama hingga abad ke-14 Hijriah (abad tujuh hingga abad dua puluh M).
Di bawah ini sebagian kecil rujukan sumber-sumber periwayatan itu. Banyak di antara ulama (yang meriwayatkanya) tidak saja mengutip pernyataan Nabi ﷺ tapi juga menegaskannya sebagai sahih (autentik):
Meskipun sejumlah besar ulama Sunni dari berbagai zaman dan dari berbagai sudut pandang telah memastikan pendapat mereka tentang kejadian bersejarah itu, mereka menemui kesulitan untuk mengaitkannya dengan apa yang terjadi sesudah Nabi ﷺ wafat, dimana Abu Bakar menjadi khalifah pertama.
Hal ini mengakibatkan banyak ulama Sunni menetapkan bahwa di Ghadir Khum Nabi ﷺ hanya ingin menegaskan bahwa Ali ع sebagai kawan dan penolong kaum Muslimin, bukan pemimpin.
Namun para ulama ini seakan melupakan Quran yang telah menerapkan kata mawla untuk konsep wali dan otoritas. Kata mawla telah diterapkan dalam 18 ayat Al-Qur’an. 10 di antaranya berkaitan dengan Allah yang merujuk pada otoritas dan kepemimpinan-Nya, dan hanya dalam beberapa kasus, istilah mawla itu telah diterapkan dalam konteks persahabatan.
Oleh karena itu, tidak diragukan lagi bahwa kata mawla pada dasarnya lebih merujuk pada penguasa dan pemimpin.
Lagipula, apakah mungkin Rasulullah ﷺ sengaja mengumpulkan ratusan ribu ummat muslim dari seluruh penjuru, di tengah panas terik padang pasir selama berjam-jam, hanya untuk mengumumkan bahwa Ali bin Abi Thalib ع adalah kawan dan penolong kaum muslim?
Sementara seluruh umat muslim sudah tahu bahwa Ali bin Abi Thalib ع bukan saja kawan, bahkan merupakan saudara terdekat Rasulullah ﷺ yang beliau asuh dari kecil, dan merupakan pahlawan di semua peperangan kaum muslim?
Adapun banyak hal-hal berkaitan lainnya yang menunjukkan bahwa kejadian di Ghadir Khumm itu punya makna yang lebih penting daripada hanya penegasan Ali bin Abi Thalib ع hanyalah kawan atau penolong bagi kaum muslim:
Semuanya menunjukkan bahwa kejadian itu mengarah kepada suatu perihal yang sangat penting sebagai peninggalan terakhir Rasulullah ﷺ untuk umatnya. Jelas bahwa kata mawla yang digunakan itu adalah untuk menunjukkan otoritas kepemimpinan yang absolut sesudah Nabi ﷺ.
Ini adalah kesalahpahaman yang umum. Faktanya, tidak ada sumber yang dapat diandalkan dari riwayat "kitab Allah dan sunnahku" yang merujuk pada hadist tsaqalain di saat khutbah terakhir Rasulullah ﷺ.
Bahkan faktanya, riwayat “aku tinggalkan kitab Allah dan sunahku” dalam hadist tsaqalain itu sama sekali tidak ada dalam kitab sahih sunni yang enam (kutub as-sittah):
Di luar enam kitab sahih sunni diatas, barulah muncul riwayat “… sunahku”, yaitu dalam kitab hadist Muwatta’ karya Malik, Sirat Rasul Allah Ibnu Hisyam, dan dalam Ta’rikh milik al-Thabari. Namun semuanya terdapat sanad yang tidak lengkap dengan beberapa mata rantai sanad yang hilang!
Adapun riwayat-riwayat "sunnahku" lainnya yang memiliki sanad lengkap (isnad), jumlahnya sangat sedikit dan semuanya terdapat periwayat yang disepakati tidak dapat dipercaya oleh ulama rijal suni terkemuka. Fakta luar biasa ini dapat dikonfirmasi oleh mereka yang tertarik dalam penelitian dengan merujuk kitab terkait.
Tentu saja, tidak ada yang mengatakan bahwa sunah Nabi ﷺ tidak harus diikuti. Justru, Nabi ﷺ meminta umat muslim untuk merujuk pada Ahlulbaitnya yang suci, terpercaya, murni dan terjaga sebagai sumber bagi sunah-sunahnya.
Telah disebutkan sebelumnya bahwa Ahlulbait Rasulullah ﷺ ialah putrinya Fatimah az-Zahra, Imam Ali, dan putra mereka Imam al-Hasan dan Imam al-Husein ع.
Kelima anggota keluarga ini, termasuk Nabi Muhammad ﷺ sebagai pemimpinnya, adalah mereka yang hidup ketika ayat Quran mengenai keutamaan mereka diturunkan kepada nabi ﷺ.
Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kalian,
Qur'an 33:33
wahai Ahlulbait, dan mensucikan kalian sesuci-sucinya
Adapaun itrah' (keturunan) Ahlulbait merupakan 9 keturunan dari Imam al-Husein ع, dimana yang terakhir adalah Imam al-Mahdi ع.
Rasulullah ﷺ bersabda:
(al-Juwayni, Fara’id al-Simtayn, (Beirut, 1978), hlm. 160.)
“Aku dan Ali dan al-Hasan dan al-Husain and 9 keturunan al-Husain adalah yang disucikan dan terjaga.”
Kebesaran al-Juwayni sebagai ulama hadis telah ditegaskan oleh al-Dzahabi dalam Tadhkirat al-Huffaz, juz 4, hlm. 298, dan juga oleh Ibnu Hajar al-’Asqalani dalam al-Durar al-Kaminah, juz 1, hlm. 67